Kemarahan yang Membakar Bangkok
Ratusan orang itu menyesaki Stasiun Kereta Api Chiang Mai, Thailand Utara, Jumat pekan lalu. Pakaian mereka serba merah-baju, syal, atau topi merah. Beberapa mengepalkan tangan, lainnya mengibarkan bendera merah dengan lambang orang mengepalkan tangan ke atas dengan rantai yang putus.
Mereka adalah keluarga para pendukung Front Persatuan untuk Demokrasi Menentang Kediktatoran, yang lebih dikenal sebagai kelompok Kaus Merah. Tak berapa lama, tibalah kereta dari Bangkok yang mengangkut kelompok penentang Perdana Menteri Abhisit itu. Suara raungan kereta tertutup yel-yel yang diteriakkan dari atas gerbong. Yel-yel itu pula yang biasa mereka nyanyikan di atas panggung di kawasan pusat belanja Ratchaprasong, Bangkok.
Sekitar 300 orang turun dari kereta dan langsung disambut hangat keluarga mereka. "Kami tidak kalah. Ini bukan mundur," Hoowit Kunasawat, artis lokal Thailand, berseru lantang dan langsung disambut yel-yel anggota rombongan lain serta para penjemput.
Wajah-wajah lelah dan marah seketika mendominasi stasiun kereta itu. Beberapa orang tak kuasa menahan tangis saat bercerita tentang penembakan terhadap kawan-kawan mereka di Bangkok. "Saya sedih dan marah. Bagaimana bisa pemerintah menembaki saudara kami? Dunia sekarang tahu, betapa kejam pemerintah Thailand saat ini," kata Noi Jupp. Perempuan 35 tahun itu menambahkan, "Hati saya buat Kaus Merah. Perjuangan ini untuk rakyat miskin dan rakyat pedesaan. Selama ini kami ditindas."
Nut Jangakat, 38 tahun, yang juga ikut dalam aksi protes di Bangkok, malah siap beraksi kembali, "Kapan pun pemimpin kami memanggil." Serbuan militer pada Rabu hingga Kamis pekan lalu, menurut dia, tak akan menyurutkan semangat mereka yang sudah bertahun-tahun tak memperoleh manfaat dari kebijakan pemerintah Thailand. "Malah akan menjadi api semangat baru buat melawan pemerintah," ujarnya. Saat ini, dia dan kawan-kawannya akan merawat padi mereka sampai masa panen tiba.
Sepanjang pekan lalu, militer Thailand akhirnya menyapu markas kelompok Kaus Merah di Ratchaprasong. Sebelumnya, tentara menghentikan pasokan air bersih dan listrik ke sana. Militer juga menghalangi pendukung Kaus Merah yang ingin bergabung dengan kawan-kawan mereka ke kawasan bisnis pusat Kota Bangkok itu. "Kami memang mengisolasi mereka agar protes ini berhenti," kata Wakil Menteri untuk Kantor Perdana Menteri, Isra Sunthornvut, melalui sambungan telepon.
Tertembaknya pemimpin garis keras Kaus Merah, Mayor Jenderal Khattiya Sawasdiphol, menjadi pemicu pembersihan kelompok pendukung bekas perdana menteri Thaksin Shinawatra itu dari kawasan Ratchaprasong yang telah mereka duduki selama dua bulan lebih. Massa yang berang lantaran penembakan Seh Daeng-julukan Khattiya yang berarti Komandan Merah-dengan berani menyerbu tentara dan polisi. Bentrok berdarah pun tak terelakkan.
Namun Isra menyangkal jika dikatakan pemerintah memerintahkan penembakan Seh Daeng. "Itu hal yang tak perlu, penembakan yang sia-sia bila kami lakukan," ujarnya. Dia menambahkan, pemerintah akan membuktikan tak membunuh Seh Daeng lewat Komite Penyelidik Independen yang segera dibentuk. "Kalau ada yang salah, dari pihak pemerintah sekalipun akan dihukum."
Pertempuran tak seimbang itu pecah sejak dua pekan lalu. Kelompok Kaus Merah bersenjata bambu runcing dan meriam buatan dari bambu. Ada pula bazoka yang dibuat dari pipa pralon. Sebagai amunisinya, mereka menggunakan roket petasan yang biasa digunakan dalam pesta. Sebaliknya, tentara menggunakan helikopter, tank, dan senapan dengan peluru tajam.
Senjata abal-abal Kaus Merah tentu saja tak bisa membunuh, paling-paling hanya mencederai tentara. Bazoka pralon pun tak mungkin menjatuhkan helikopter yang berputar-putar di atas kawasan Ratchaprasong. "Kami cuma berharap tentara takut, bukan membunuh mereka," kata seorang pemuda, 34 tahun, yang membantu merakit meriam.
Taktik paling jitu yang dilakukan tentara adalah mengepung dan menghalangi kedatangan pengunjuk rasa baru. Tak semua demonstran memang terus-menerus berdiam di Ratchaprasong. Menurut pengamatan Tempo selama di Bangkok, jumlah anggota Kaus Merah membeludak sampai memacetkan lalu lintas saat sore hingga dinihari. Di pagi hingga siang hari, tak banyak pendukung yang datang ke sana.
Isolasi tentara terbukti efektif karena dalam sepekan jumlah pengunjuk rasa turun drastis, dari sepuluh ribu menjadi cuma tiga ribu orang. "Kami tak ingin melakukan kekerasan, kami pikir cara ini efektif mengurangi kekuatan pemrotes," ujar Isra.
Untuk melemahkan energi kelompok pendukung Thaksin itu, Komando Pusat Operasi Darurat juga membekukan 106 rekening milik pribadi dan perusahaan yang terindikasi membantu logistik Kaus Merah. Semua transaksi yang mencurigakan sejak 1 September tahun lalu sampai 17 Mei sudah diselidiki aliran dananya. Menurut pemerintah, salah satu aliran dana memang berasal dari bekas perdana menteri Thaksin Shinawatra. Konglomerat ini sejak awal dicurigai menjadi donor sekaligus penggerak unjuk rasa.
Meluapnya emosi massa karena penembakan yang menewaskan Seh Daeng membuat baku serang dengan tentara pecah secara terbuka. Sedikit demi sedikit tentara terus merangsek dan menguasai kawasan yang tadinya diduduki Kaus Merah. Korban tewas pun berjatuhan, terutama karena peluru yang dilepaskan oleh penembak jitu dari tempat tersembunyi.
Melihat gelagat tak menguntungkan, beberapa pentolan Kaus Merah meminta massa bubar. Tapi massa yang sudah telanjur mengamuk tak mau berhenti. Mereka terus menyerang tentara dengan senjata seadanya. Sebagian lagi menjarah dan membakar beberapa pusat belanja. Pelanggaran hukum dan ketertiban umum ini menjadi alasan pemerintah membubarkan demonstrasi.
Tiga pekan lalu, juru bicara pemerintah, Panitan Wattanayagorn, mengatakan kepada Tempo bahwa pihaknya tak akan menggunakan kekerasan menghadapi demonstran, kecuali bila mereka melakukan pelanggaran. Soalnya, sesuai dengan konstitusi, unjuk rasa merupakan tindakan yang halal. "Boleh demonstrasi, asal tak merusak dan melanggar hukum," ujarnya.
Untuk menghindari bertambahnya korban luka dan tewas, pentolan Kaus Merah akhirnya memilih menyerahkan diri ke polisi. Namun korban sudah telanjur berjatuhan. Sejak bentrok pertama di Monumen Demokrasi pada 10 April sampai penyerbuan pekan lalu setidaknya 83 orang tewas dan 1.000 menderita luka-luka.
Sebelum meninggalkan kawasan Ratchaprasong, massa Kaus Merah masih terus melakukan pembakaran, termasuk menyulut mal Central World, Siam Paragon, dan bioskop Siam. "Jangan ditembak, mereka bukan teroris," Veera Musikhapong, pentolan Kaus Merah, berteriak ke arah tentara yang siap membidik massa.
"Saat ini pemerintah tengah menghitung kerugian akibat ketidakstabilan politik di Bangkok. Kami akan membangun ulang semuanya," kata Isra setelah tentara sepenuhnya mengambil alih kawasan Ratchaprasong. Pusat Penelitian Ekonomi Kasikorn mencatat total kerugian akibat kekerasan politik selama dua bulan itu 53-230 miliar baht.
Sumber kerugian terutama karena pariwisata yang lumpuh dan tergerus lantaran terbitnya peringatan berkunjung dari negara-negara yang warganya biasa berlibur ke Thailand. Menteri Pariwisata dan Olahraga Chumpol Silpa-archa menyatakan selama dua bulan kunjungan turis menurun dari rata-rata 30 ribu orang per hari menjadi cuma 20 ribu orang. "Mereka takut," ujarnya.
Situasi Thailand yang porak-poranda diakui pula oleh Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva, pekan lalu, melalui televisi nasional. "Kita ada di rumah yang sama. Dan sekarang rumah kita sedang hancur. Mari kita bangun lagi bersama-sama." Abhisit menambahkan, bentrokan selama dua pekan terakhir membuat emosi massa jadi tak bisa dikontrol.
Alasan itu pula yang dipakai Abhisit menunda janjinya menggelar pemilihan umum pada 14 November mendatang. "Kita tunggu sampai semua siap secara emosi, agar kampanye bisa berjalan tenang." Ironisnya, dalam perundingan dengan massa Kaus Merah, Abhisit menawarkan jadwal pemilu itu.
Di Bangkok, Abhisit menyatakan situasi Negeri Gajah Putih itu sudah stabil, tapi di sejumlah tempat di Thailand, bara kemarahan masih tersimpan. Nut Jangakat, yang menjadi saksi penyerbuan tentara, mengatakan peristiwa itu menjadi amunisi bagi rakyat yang masih mengecap ketidakadilan ekonomi. "Saya akan kembali ke Bangkok," Nut mengucapkan tekadnya dengan tegas.
Dari pengasingannya, bekas perdana menteri Thaksin Shinawatra bahkan meramalkan bakal pecahnya perlawanan gerilya dari para penentang pemerintah. Di negeri yang rakyatnya terkenal ramah itu, kekerasan politik tampaknya masih jauh dari akhir.
sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/05/24/ITR/mbm.20100524.ITR133602.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar