Rabu, 28 April 2010

Kisah Pedagang Bubur Kacang Ijo Sukses Dalam Semangkuk Bubur

Kisah Pedagang Bubur Kacang Ijo
Sukses Dalam Semangkuk Bubur
M. Rizal Maslan - detikNews
Jakarta - Mang Edi sigap di balik meja saji. Uap mengepul dari dua dandang besar. Satu berisi kacang hijau, satu lagi berisi ketan hitam. Dua centong dari masing-masing dandang berpindah ke sebuah mangkuk. Santan putih pun menjadi penghias terakhir. Selanjutnya bubur kacang hijau nan legit, siap disajikan.

"Bubur kacang ijo, dari dulu tetap laku dan masih ada rezekinya," kata Mang Edi memulai perbincangan di warungnya, di Jalan Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu (7/4/2010) pagi.

Pria 49 tahun ini sudah 25 tahun menggeluti usaha ini. Edi hanya satu dari ribuan orang dari kampungnya di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang mencari nafkah di Jabodetabek dengan berjualan bubur kacang hijau. Kacang Ijo, begitu lidah Edi menyebutnya.

Kios bubur kacang Mang Edi ini tak begitu besar. Kiosnya itu berukuran 4x10 meter yang dikontraknya Rp 3,5 juta per tahun. Tetangga Edi adalah Warung Tegal, gerai pulsa ponsel dan toko kelontong. Kios bubur semacam milik Edi ini sering disebut Warung Burjo (Bubur Kacang Ijo). Kebanyakan, warung burjo buka sampai malam, bahkan ada yang 24 jam.

"Apalagi kalau malam, biasa untuk tempat ngobrol orang-orang sini atau tetangga," jelas Mang Edi yang berasal dari Babakanreuma, Sindangagung, Kuningan, Jawa Barat ini.

Mang Edi bercerita, dia mulai menjadi pedagang burjo dengan modal kecil dan pinjaman saudara di kampungnya. Berawal dari uang Rp 500.000, dalam 25 tahun, Mang Edi sudah bisa mengontrak warung yang cukup besar, plus 2 sepeda motor. Menurut Edi, banyak pedagang bubur kacang yang lebih sukses dari dirinya. Bahkan mereka bisa membangun rumah di kampungnya di Kuningan.

Dari berjualan bubur kacang hijau, Edi bisa mendapat pendapatan hingga Rp 2 juta sebulan. Edi juga berjualan mie rebus dan gorengan. Bahkan saat bulan puasa, Edi bisa mendapatkan untuk lebih besar. Edi pun bisa menyekolahkan anak pertamanya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

"Sudah semester dua, alhamdulillah. Kalau, anak kedua saya sudah SMA kelas 2," imbuhnya.

Rupanya, ada satu hal lagi yang membuat para pedagang burjo dapat bertahan dari kerasnya hidup di Ibukota. Rasa persaudaraan, sikap saling dukung dan membantu sangat kuat di antara pedagang bubur kacang hijau. Apalagi kebanyakan juga berasal dari Kabupaten Kuningan, walaupun dari desa yang berbeda.

"Kita terus berkumpul, saling bantu kalau ada yang sakit, atau kurang modal. Kita
sering bersilaturahim. Bahkan, kalau ada yang berhasil sampai membuka kios baru,
kita ajak para pemuda di kampung atau saudara untuk berjualan," ucapnya.

Jika Mang Edi memiliki warung, beda lagi dengan Mang Jejen. Dia menjajakan bubur kacang hijau keliling dengan gerobak. Jejen biasanya beredar di daerah pemukiman atau kompleks perumahan. Dia mengaku dagangannya selalu laris.

"Pokoknya waktu pagi jualannya. Tapi kadang-kadang suka cepat habis ludes kalau ada kerja bakti di kampung-kampung," katanya saat ditemui di Perumahan Griya Pelita, Pancoran Mas, Depok.

Jejen masih betah berjualan keliling, sebab dia masih kekurangan modal untuk menyewa warung. Buat Jejen, yang terpenting buburnya harus habis agar modal kembali dan tidak mubazir.

Nah, saat ini, pedagang bubur kacang hijau asal Kuningan mendapatkan saingan baru, yaitu pedagang bubur kacang hijau Madura. Namun, menurut Jejen dan Edi, mereka tidak merasa ada masalah. Tukang burjo Kuningan dan Madura punya pangsa pasar masing-masing.

"Teman-teman pedagang bubur kacang ijo Madura biasanya cuma jualan malam hari. Namanya juga semua mencari rezeki kok," pungkas Mang Edi bijak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar